Menyambut Lebaran, Menerima Keluarga

Sumber : pemandanganoce.blogspot.com

Puasa sudah memasuki hari terakhir. Masyarakat di desa Bacem menyambut malam takbiran dengan penuh suka cita. Di masjid dan surau-surau saling bersahutan gema-gema takbir. Anak-anak bermain di latar masjid, ibu-ibu menyiapkan berbagai kudapan di meja ruang tamu, sedangkan para bapak bergantian menggemakan takbir sambil leyeh-leyeh di teras Masjid.

Para remaja juga tak mau kalah. Dengan bergotong-royong mereka mengantarkan zakat kerumah-rumah warga yang membutuhkan. Tak kecuali rumah bu Lilik. Janda anak satu itu bekerja sebagai pembantu di rumah pak Lurah. Rumahnya ada di pinggir makam desa yang juga merupakan peninggalan alm. Suaminya yang dahulu bekerja sebagai juru kunci makam. Anaknya, Ridan yang baru saja lulus sekolah dasar kadang turut membantu penghidupan ibunya dengan membantu berjualan gorengan di pasar desa.

Sesampainya didepan rumah, Tomo mengetuk pintu rumah sambil mengucap salam.

“Assalamualaikum”

“…”

Tak ada sautan dari dalam rumah.

“Bu Lilik, dek Ridan. Permisi”

“…Alaikum Salam”

Saat Ridan membuka pintu, matanya sembab seakan habis menangis. Tomo bertanya apa yang tengah terjadi. Ridan bercerita rupanya beberapa hari belakang bu Lilik sedang sakit. Ridan yang masih muda hanya bisa menemani dan menyuapi ibunya. Ia bingung karena tak memiliki cukup uang untuk mengantarkan ibunya berobat ke Rumah Sakit. Sedangkan penghasilannya dan ibunya hanya cukup untuk biaya kehidupan sehari hari saja.

“Ya sudah setelah mengantar jatah zakat ini, saya dan teman-teman akan menuju rumah pak RT. Saya akan pinjamkan mobil untuk mengantar ibu ke Rumah Sakit. Perkara biaya tidak usah dipikirkan dulu, yang penting ibu bisa lekas sembuh. Sekarang terimalah dulu zakat ini ya”

“Nggeh mas Tomo, Terima kasih”

Ridan mencium tangan Tomo. Mata pemuda itu seperti menahan air mata agar sampai tidak menetes. Setelah berpamitan, Tomo kemudian melanjutkan perjalanannya untuk mengantar zakat.

Setelah selesai berkeliling dusun, Tomo dan para remaja masjid sejenak leyeh-leyeh di teras masjid. Para pemudi-pemudi yang memang juga ikut memeriahkan malam terakhir Ramadhan menyuguhkan tela dan teh hangat untuk rekan-rekannya.

Sampai dari arah selatan, mereka melihat Ridan berlari menuju mereka dengan tangan menutupi wajahnya. Sebelum Tomo bertanya, Ridan terlebih dahulu berucap,

“Mas, Ibuk sudah ndak ada. . .”

Suasana masjid yang semula meriah tiba-tiba berubah sunyi senyap. Warsono selaku marbot masjid kemudian mengumumkan lewat pengeras suara masjid bahwa Bu Lilik telah meninggal dunia.

Dengan pertimbangan dari pak RT, Jenazah dikuburkan pada malam itu juga. Saat akan meninggalkan makam, Tomo mengajak Ridan untuk pulang. Namun bocah itu menolak, ia ingin menjaga makam ibunya di malam kemenangan ini. Tomo tak bisa berbuat banyak. Dari sekian banyak pelayat yang pergi, hanya Tomo yang menoleh kebelakang. Menoleh kearah Ridan.

Di pagi hari, setelah sholat Ied dilakukan pula sholat jenasah untuk mendiang bu Lilik. Tomo celingukan, ia tak melihat Ridan di masjid. Ia memutuskan mencari anak itu selepas bermaaf-maafan dengan orang tuanya.

Suasana dirumah Tomo tak kalah haru. Tomo bersujud mencium kaki ibu dan bapaknya. Bapak dan ibu tomo pun tak sukan untuk meminta maaf kepada Tomo.

Hari Raya memang memiliki kekuatan magis untuk meruntuhkan sifat keras kepala seseorang.

Sesudah saling bermaaf-maafan, Tomo bercerita tentang Ridan yang baru saja menjadi Yatim Piatu di hari raya ini. Ia berniat menjadikan Ridan sebagai adiknya. Sang Ibu terkejut mendengar pernyataan Tomo.

Maklum saja dirumah ini memang hanya hidup mereka bertiga. Sebenarnya Tomo hampir mempunyai seorang adik, namun saat kehamilan Bu Romlah memasuki 8 bulan kandungan, beliau mengalami keguguran.

Sang bapak menghela nafas panjang kemudian sedikit melirik kearah ibunya. Sang ibupun tersenyum tipis melihat kode dari bapak.

“Yasudah, setelah ini bawa Ridan kemari. Ajak ia makan dan siapkan baju untuknya. Nanti ruangan belakang kita tata bersama-sama untuk tempat tidur Ridan” ucap bapak.

Tomo tak kuasa menahan tangis, ia memeluk kedua orang tuanya. Kemudian ia berpamit hendak menjemput Ridan.

Sesampainya dirumah alm. Bu Lilik, Tomo tak menemukan Ridan. Ia lantas pergi menuju pemakaman disebelahnya. Tampak ridan sedang duduk bersila menghadap makam sang Ibu. Tomo yang baru datang menemaninya duduk disampingnya.

“Ini hari raya paling menyedihkan bagi saya mas. Saya tak lagi punya siapa-siapa. Perut saya melilit, pakaian hanya tinggal yang melekat di badan. Mau meminta-minta saya malu. Mau bekerja, siapa yang mau memperkerjakan saya. Saya lemah dan tidak berdaya. Tapi tidak ada yang tahu. Tak ada yang mendengar. Saya ingat bapak dan ibu. Andai mereka masih ada. Saya berdoa untuk mereka.”

Mata Tomo berkaca-kaca. Di hari raya ini perutnya terisi kenyang oleh masakan sang ibu, tapi dia tak tahu dan mungkin tak pernah tahu ada tetangganya yang bersedih karena tak punya apa-apa, tak punya siapa-siapa, merintih dan menahan lapar di hari penuh kemenangan.

“Ridan, maafkan aku..”

“Mas Tomo ndak salah mas”

“Kalau boleh dan kalau kamu mau, bisakah aku menjadi kakakmu. Ibu Romlah menjadi Ibumu dan pak Wawan menjadi Bapakmu?”

Wajah ridan menengadah. Raut wajahnya yang sayup memandang kearah Tomo.

“Mas Tomo, bagaimana mungkin saya tidak mau. Hanya sampean yang selama ini prihatin dengan saya dan ibu. Saya akan berterima kasih kalau memang benar mas Tomo mau menjadikan saya sebagai adik sampean”

“Iya Ridan, mari pulang kerumah. Ibu dan Bapak sudah menunggu kamu dirumah.”

Tomo menggandeng jemari anak kecil itu. Perlahan mereka meninggalkan makam desa. Sampai didepan rumah, Bu Romlah dan Pak Wawan sudah menunggu kedatangan mereka berdua.

“Ridan, ini ibumu dan aku bapakmu. Sekarang kamu menjadi bagian dari keluarga kami.”

Ridan pun dengan segera mencium kedua tangan orang tua barunya itu. Setelah itu Tomo memberinya pakaian semasa ia masih kecil dan menyuruhnya mandi. Ridan mengikuti Tomo. Usai mandi, Ridan makan dengan lahap. Pak Wawan melihat suasana itu. Tangannya menggandeng tangan Bu Romlah. Tanpa sadar air matanya menetes yang kemudian diusap oleh istrinya.

Suasana dirumah Tomo menjadi ramai berkat kehadiran Ridan. Pagi ini mereka merayakan Lebaran dengan anggota keluarga baru. Sementara Ridan sudah tidak bersedih lagi. Tak pula menangis lagi.

Allahu akbar wa lillahilham. . .

Terinspirasi dari salah satu tulisan dengan judul “Di Hari Raya Ini, Maukah Kau Menjadi Anakku?” dalam buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya karya Alm. Rusdi Mathari.

Tinggalkan komentar